A. PENGERTIAN PERIKATAN
1. Pengertian Perikatan
Verbentenis yang lebih cocok diterjemahkan dengan arti perikatan karena berasal dari kata to verbintyang berarti ikat. Verbintenis kemudian diterjemahkan oleh para ahli menjadi 3 kata, yaitu :
a. Perikatan, terjemahan ini disebutkan oleh Prof. Subekti dan Prof. Sudikno dengan alasan berdasarkan dasar kata verbinten yang berarti mengikat.
b. Perutangan, berasal dari buku karangan FHA Vollmark, Utrecht, Kusumadi.
Menerjemahkan kata verbintenis berarti perutangan dengan alasan adanya hubungan utang-piutang diantaranya.
- Perjanjian, terdapat dalam buku Prof. Wirjono Prodjodikoro. Terjemahan ini sedikit menyimpang dari defenisi verbintenis yang sebenarnya karena perjanjian berasal dari kataovereenkomst yang merupakan sumber dari verbintenis atau perikatan.
Dapat ditarik kesimpulan mengenai pemakaian kata verbintenis lebih cocok dipakai dengan terjemahan <span>perikatan</span>. Karena jelas terlihat adanya penyimpangan terjemahan verbentenisdengan kata perjanjian, sehingga tidak dapat dijadikan acuan.
Perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, dengan istilah Verbintenissenrecht yaitu Hukum Perikatan. Yang berlaku sebagai undang-undang dan diumumkan resmi pada tanggal 30 April 1847 (Staatblad No. 23 tahun 1847).
Pada umumnya defenisi perikatan yang diberikan para Sarjana dan Buku III KUH Perdata adalah sebagai hubungan hukum dalam harta kekayaan antara dua pihak/orang atau lebih yang menimbulkan hak dan kewajiban atas suatu prestasi.
Disebutkan dalam lapangan harta kekayaan karena hubungan hukum itu dapat dinilai dengan uang. Tetapi tidak hanya dalam lapangan harta kekayaan, juga di dalam hubungan hukum keluarga. Penegasan hubungan hukum, yang melahirkan hak dan kewajiban para pihak dalam memenuhi prestasi, jika di dalam suatu hubungan tersebut apabila adanya wanprestasi atau tidak terpenuhinya suatu prestasi maka pihak yang wanprestasi tersebut dapat dituntut.
Dengan demikian perikatan meliputi segi aktiva (pihak kreditur) dan segi passiva (pihak debitur). Tetapi ada kalanya pembuat undang-undang hanya menunjuk pada segi passiva saja seperti tercantum dalam ketentuan pasal 1131 dan 1235 KUHPerdata, menyebutkan :
Pasal 1131 KUH Perdata : “Segala kebendaan si <span>berutang,</span> baik yang bergerak maupun yang takbergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.”
Pasal 1235 KUH Perdata : “Dalam tiap-tiap perikatan <span>untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik</span> , <span>sampai</span> pada <span>saat penyerahan</span>.”
Dalam kedua pasal KUH Perdata tersebut, pembuat undang-undang hanya menekankan segi passiva, yaitu menyebutkan identitas si berutang dalam hal ini adalah debitur.
Kemudian juga terkadang mempergunakan arti “tindakan hukum” yang dapat menimbulkan hak tagihan (kewajiban) seperti disebutkan dalam pasal 108 ayat 2 dan pasal 1329 KUH Perdata :
Pasal 108 ayat 2 KUH Perdata : “Seorang isteri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat sesuatu akta, atau untuk mengangkat sesuatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau memberi pelunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.”
Pasal 1329 KUH Perdata : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tak-cakap.”
Tindakan-tindakan hukum di dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan adanya suatu hubungan hukum yang mengikat antara para pihak.
Kemudian pembuat Undang-undang ada kalanya mencampuradukkan antara istilah perikatan dengan istilah perjanjian, contohnya pada pasal 1329 KUH Perdata dan 1331 KUH Perdata :
Pasal 1331 KUH Perdata : “Karena itu orang-orang yang di dalam pasal 1330 KUH Perdata dinyatakan tak cakap, boleh menuntut <span>pembatalan perikatan-perikatan</span> yang mereka telah perbuat, dalam hal-hal dimana kekuasaan itu tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Orang-orang yang cakap untuk mengikatkan diri tak sekali-kali diperkenankan mengemukakan ketidakcakapan orang-orang yang belum dewasa, orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan perempuan-perempuan yang bersuami dengan siapa mereka telah membuat suatu perjanjian.”
Dalam pasal tersebut terlihat adanya penyimpangan istilah antara perikatan dengan perjanjian. Padahal dari kesimpulan yang didapatkan dari beberapa pasal diatas menyebutkan bahwa perikatan merupakan hubungan hukum, sedangkan perjanjian adalah suatu perbuatan hukum.
Dari defenisi perikatan secara umum tersebut, terdapat unsur-unsur penting dari suatu perikatan, yaitu :
1). Adanya hubungan hukum ;
2). Adanya di dalam lapangan Hukum Kekayaan ;
3). Adanya hubungan antara debitur dan kreditur ;
4). Adanya isi dari perikatan yaitu prestasi.
2. Prestasi
Prestasi adalah objek perjanjian atau sesuatu hal yang utama dari suatu perjanjian ataupun perikatan. Atau sesuatu hal yang wajib untuk dipenuhi oleh para pihak, yang mana merupakan sesuatu hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.
Defenisi prestasi dijelaskan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yang menyebutkan :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk <span>memberikan sesuatu</span>, <span>untuk berbuat sesuatu</span>, atau <span>untuk tidak berbuat sesuatu</span>.”
Sedangkan dalam hal tidak terpenuhinya suatu prestasi oleh debitor dalam suatu perikatan dapat disebut wanprestasi. Adapun syarat terbentuknya prestasi merupakan objek dari terpenuhinya perikatan, yaitu adanya <span>hal tertentu atau dapat ditentukan, diperbolehkan dan dimungkinkan</span>. Mengenai prestasi ini diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata ayat (3), yang merupakan pasal mengenai syarat objektif sahnya suatu perjanjian, atau salah satu syarat formil dari perjanjian yaitu adanya suatu hal tertentu. Artinya suatu prestasi yang tidak memungkinkan ataupuntidak diperbolehkan atau tidak tertentu halnya untuk dilaksanakan menyebabkan suatu perjanjianbatal demi hukum.
3. Debitor dan Kreditor
Debitor adalah yang memiliki kewajiban dalam memenuhi prestasi atau disebut juga dengan berpiutangatau berutang (membayar hutang).
Kreditor adalah yang berhak atas suatu prestasi, memberikan hutang (menagih hutang).
Dalam suatu perikatan debitor dan kreditor dinamakan pihak, jadi disebutkan adanya dua pihak dalam suatu perikatan. Disebutkan pihak karena <span>sedikitnya ada satu debitur ataupun satu kreditur yang bisa saja salah satu ataupun keduanya berbentuk badan hukum</span>.
4. Kewajiban para Pihak
Hubungan antara kedua belah pihak didalam perikatan dapat disebutkan ada kreditur yang mempunyai tagihan dan ada debitur yang mempunyai hutang. Semua tagihan dan hutang itu tertuju kepada adanya suatu prestasi tertentu.dengan demikian tagihan kreditur adalah tagihan prestasi dan kewajiban atau hutang debitur adalah hutang prestasi tertentu.
Pengertian memberikan sesuatu pada pasal 1234 KUH Perdata, sebagai upaya pemenuhan prestasi, disebutkan dalam pasal 1235 KUHPerdata ayat (1) :
“Dalam tiap-tiap perikatan <span>untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik</span> , <span>sampai</span> pada <span>saat penyerahan</span>.”
B. PEMBAGIAN PERIKATAN MENURUT DOKTRIN
1. Pembagian Perikatan menurut Sumber Lahirnya Perikatan
Adapun lahirnya suatu perikatan menurut pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena <span>perjanjian</span>, baik karena <span>undang-undang</span>. “
Sedangkan sumber lahirnya perikatan lainnya terdapat di luar Undang-undang, yaitu :
1. Putusan Hakim, menimbulkan hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan ;
2. Wasiat, misalnya hibah yang menyebutkan tidak dapat diganggu gugat sepanjang tidak melanggar legitimasi ;
3. Penawaran, misalnya label harga yang terdapat di tiap produk di toko adalah bentuk yang mengikat.
4. Moral positip (fatsoenverplichtingen), timbulnya perikatan wajar atau perikatan bebas (obligatio naturalis atau naturlijke verbintenis), misalnya perikatan yang timbul dari orang yang ditolong dan menolong, adanya keharusan dari yang ditolong untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan tetapi tidak menjadi tuntutan yang wajib. Pemenuhan kewajiban seperti itu dianggap sebagai pembayaran dan bukanlah sesuatu yang tidak wajib (niet onverplicht).
<span> </span>
<span>Perikatan yang bersumber dari perjanjian.</span>
Pada prinsipnya perjanjian yang dikenal merupakan perjanjian obligatoir, kecuali undang-undang menentukan lain. <span>Perjanjian bersifat obligatoir berarti, bahwa dengan ditutupnya perjanjian itu pada asasnya baru melahirkan perikatan-perikatan saja, dalam arti bahwa hak atas objek perjanjian belum beralih, untuk peralihan tersebut masih diperlukan adanya levering/penyerahan.</span> Dengan demikian, prinsipnya orang bisa membedakan antara saat lahirnya perjanjian obligatoirnya dengan saat penyerahan prestasi/haknya, sekalipun pada jual beli tunai yang langsung diikuti dengan penyerahan bendanya, kedua momen itu jatuh bersamaan.
Contohnya : perjanjian jual beli, sebagai perjanjian obligatoir yang paling umum dalam kehidupan sehari-hari.
Pasal 1457 KUH Perdata menyebutkan :
“Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Dapat diketahui bahwa kedua belah pihak baru akan saling berjanji, tetapi perjanjian jual beli itu sudah lahir dengan adanya kesepakatan. Kemudian pembuat undang-undang menegaskannya lagi dalam pasal 1458 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Jual beli itu dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelah orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”
Unsur-unsur perjanjian yang terjadi dalam jual beli yang melahirkan perikatan itu adalah :
a. pihak penjual berhak menuntut uang pembayaran dari pembeli ataupun sebaliknya pembeli berkewajiban untuk membayar harga yang telah disepakati. Unsur ini menyebutkan adanya hak dari kreditor dan kewajiban dari debitor. Adanya unsur hubungan hukum atau pemenuhan hak dan kewajiban yang menimbulkan perikatan.
b. Pihak pembeli berhak menuntut penyerahan benda objek jual beli atau sebaliknya penjual berkewajiban untuk menyerahkan benda objek jual beli kepada pembeli.Dalam unsur ini menegaskan mengenai objek dari perjanjian yang pada akhirnya melahirkan perikatan atas objek perjanjian itu.
c. Pihak penjual berkewajiban untuk menanggung terhadap adanya cacad tersembunyi atau sebaliknya pembeli berhak untuk menuntut jaminan seperti itu. Dalam hak dan kewajiban dari kedua belah pihak atas pemenuhan prestasi atas objek juga menimbulkan perikatan.
<span>Perikatan bersumber dari undang-undang</span>
Undang-undang merupakan sumber dari perikatan, maka yang dimaksud disini adalah bahwa lain dengan pada perjanjian yang melahirkan perikatan, maka disini dapat lahir perikatan antara orang/pihak yang satu dengan pihak yang lainnya, tanpa orang-orang yang bersangkutan mengkehendakinya atau lebih tepat tanpa memperhitungkan kehendak mereka.
Contoh perikatan yang lahir dari undang-undang adalah kewajiban anak terhadap orang tuanya, seperti disebutkan dalam pasal 321 KUH Perdata yang menyebutkan :
“Tiap-tiap anak berwajib memberi nafkah, kepada kedua orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis keatas, apabila mereka dalam keadaan miskin.”
Tetapi ada kalanya juga dapat terjadi, perikatan timbul tanpa orang-orang atau para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu ataupun mempunyai kedudukan tertentu.
Adanya perbedaan antara perikatan yang lahir karena perjanjian dan perikatan yang lahir karena undang-undang. Pada perjanjian, kehendak para pihak memang tertuju atau dianggap tertuju kepada akibat hukum tertentu, para pembuat undang-undang memang mengkehendaki atau dianggap mengkehendaki munculnya perikatan sebagai akibat hukum dari perjanjian yang tertutup. Hal itu menjadi lebih jelas, kalau perikatan yang lahir karena perjanjian dengan memandang pasal 1352 KUH Perdata dan pasal 1353 KUH Perdata sebagai latar belakang. Sekalipun adanya unsur perbuatan dari satu ataupun kedua belah pihak dalam perikatan, tetapi perbuatan mereka tidaklah tertuju pada perbuatan hukum. Perikatan yang muncul antara mereka sebagai akibat perbuatan mereka, dapat disebutkan pada umumnya mereka sama sekali tidak mengkehendaki akibat hukum yang terjadi seperti itu. Maka kedua sumber perikatan itu sama-sama lahir karena adanya kehendak. Yang satu karena kehendak para pihak dan yang lain karena kehenda para pembuat undang-undang.
Peristiwa hukum dibedakan menjadi peristiwa hukum tindakan manusia dan peristiwa hukum bukan tindakan manusia atau disebut juga peristiwa hukum yang lain. Peristiwa hukum dapat disebut peristiwa hukum tindakan manusia <span>apabila orang yang bersangkutan mempunyai kekuasaan untuk menentukan ada atau tidaknya peristiwa seperti itu.</span> Sebaliknya apabila peristiwa hukum tersebut <span>diluar jangkauan manusia untuk menentukan dan mengaturnya</span> maka peristiwa itu disebut dengan peristiwa hukum yang lain (lain daripada tindakan manusia).
Peristiwa hukum tindakan manusia merupakan tindakan hukum, yang menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau paling tidak dianggap oleh si pelaku. <span>Akibat hukumnya adalah lahirnya, beralihannya atau hapusnya hak-hak subjektif para pihak yang demikian itu memang dikehendaki</span>. Misalnya apabila seseorang menutup perjanjian (melakukan tindakan hukum), maka hanya akan memikirkan hal-hal yang berbentuk pokok-pokok saja baik karena tidak tahu maupun lupa untuk mengatur yang lainnya padahal dalam suatu perjanjian biasanya mengatur mengenai hal-hal yang melahirkan sekelompok kewajiban/perikatan, termasuk yang terlupakan oleh para pihak. Dari akibat yang lainnya maka <span>menimbulkan suatu asas bahwa para pihak tidak menentukan maka hukum perdata bersifat menambahi yang berkenaan dengan peristiwa perjanjian itu yang langsung turut mengatur perjanjian mereka, yang tujuannya mengatur sesuai dengan hal yang semula lupa atau tidak tahu untuk diatur tadi</span>. Yang demikian didasarkan atas kehendak yang dipersangkakan dan kepatutan. Penemuan akibat hukum inilah yang menjadi alasan dicantumkannya adanya perjanjian tambahan atau addendum dalam setiap pembuatan perjanjian ataupun kontrak.
Tindakan manusia yang lain, yang bukan merupakan tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang memang menimbulkan akibat hukum tetapi akibat hukum itu tidak dikehendaki. Jadi dapat diartikan tidak berdasarkan atas adanya kehendak, termasuk kedalam kelompok <span>perikatan yang lahir dari undang-undang karena tindakan manusia.</span>
Tindakan hukum dapat dibedakan antara tindakan hukum sepihak dan tindakan hukum dua pihak. Tindakan hukum sepihak merupakan tindakan hukum, yang untuk lahirnya ataupun timbulnya akibat hukum yang dikehendaki, cukup dengan pernyataan kehendak dari satu orang saja, seperti pada pembuatan wasiat, pengakuan anak, pembebasan hutang dan lain-lain. Pada tindakan hukum dua pihak biasanya disebut perjanjian saja dibutuhkan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang saling bertemu. Karena pada kedua belah kelompok ini, kehendak memegang peranan yang menentukan, maka peristiwa hukum seperti ini tidak mungkin muncul karena undang-undang, baik karena undang-undang saja maupun undang-undang dan tindakan manusia.
Kelompok peristiwa hukum tindakan manusia yang berupa perjanjian dapat dibutuhkan pernyataan kehendak dari kedua belah pihak yang saling bertemu. Karena pada kedua kelompok ini, kehendak memegang peranan yang menentukan, maka peristiwa hukum seperti ini tidak mungkin muncul karena undang-undang, baik karena undang-undang saja maupun undang-undang dan tindakan manusia.
Kelompok peristiwa hukum tindakan manusia yang berupa perjanjian dapat kita bedakan lagi menjadi perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Perjanjian sepihak adalah perjanjian sebagai akibat hukumnya disatu pihak ada saja hak dan dilain pihak ada saja kewajiban. Karena merupakan perjanjian maka sedikitnya harus adanya dua pihak yang saling berhadapan yang saling memberikan persetujuannya. Sedangkan dari tindakan hukum yang sepihak, karena pihaknya hanya satu pihak saja. Contohnya : dalam perjanjian hibah. Hibah dijanjikan oleh pemberi hibah dan penerima hibah, setelah dicapainya kesepakatan, maka dari pemberi hibah adanya kewajiban untuk menyerahkan barang hibah dan dari pihak penerima hibah adanya hak untuk menuntut penerimaan hibah.
Pada perjanjian timbal balik adanya hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat hukum ada pada kedua belah pihak. Contohnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa. Pada perjanjian seperti ini, pada kedua belah pihak ada hak dan kewajiban yang muncul sebagai akibat hukum ditutupnya perjanjian.
Misalnya pertukaran antara jam dan arloji dan kuda, pemilik arloji mempunyai hak untuk menuntut penyerahan kuda tetapi juga memikul kewajiban untuk menyerahkan arloji miliknya. Begitu juga sebaliknya dengan pemilik kuda, jadi adanya kewajiban dari kedua belah pihak.
B. Pembagian Perikatan menurut Isi Perikatan
Pasal 1234 memberikan cara pengelompokan perikatan yang lainnya, yaitu dengan mendasarkan kepada wujud isi/prestasi dari perikatannya.
Pengerlompokan unsur dasar perikatan yang berisi kewajiban dalam KUH Perdata yaitu :
- Untuk memberikan sesuatu.
- Untuk melakukan/berbuat sesuatu.
- Untuk tidak melakukan sesuatu.
Semua perikatan yang dikenal dalam KUH Perdata dapat digolongkan dalam salah satu dari kelompok diatas.
<span>Perikatan untuk memberikan sesuatu</span>
Yang menjadi ukuran dari objek perikatannya adalah wujud prestasinya, yaitu berupa suatu kewajiban bagi debitur untuk memberikan sesuatu kepada kreditur. Arti <span>memberikan sesuatu</span> menjadi jelas apabila ditinjau dengan hubungan obligatoir sebagai latar belakangnya. Hubungan obligatoir yang tercipta diikuti dengan levering/penyerahan, yang berupa memberikan sesuatu, baik berupa benda bertubuh maupun tidak bertubuh. Hubungan obligatoir dapat muncul baik atas dasar perjanjian maupun undang-undang. Contohnya : jual beli. Adanya kewajiban dan hak dari penjual dan pembeli.
<span>Perikatan untuk melakukan sesuatu</span>
Prinsip melakukan sesuatu pada dasarnya juga memberikan sesuatu. Oleh karenanya ada yang mengusulkan pembagian perikatan untuk memberikan sesuatu dan perikatan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang lain daripada memberikan sesuatu. Contohnya : orang yang menutup perjanjian pemborongan atau untuk melakukan pekerjaan tertentu, memikul kewajiban perikatan untuk melakukan sesuatu, demikian juga kewajiban debitur dalam suatu perjanjian pengangkutan.
<span>Perikatan untuk tidak melakukan sesuatu</span>
Dalam kewajiban untuk memenuhi prestasi bukan merupakan sesuatu yang bersifat aktif, melainkan bersifat pasif, yang dapat berupa tidak berbuat sesuatu atau membiarkan sesuatu keadaan berlangsung. Contohnya : dalam pendirian Perseroan, yang sering mencantumkan ketentuan yang menyebutkan :
“Selama berlangsungnya perseroan ini, para persero, tanpa persetujuan para persero yang lain, dilarang untuk menjalankan jabatan lain selain daripada advocat dan pengacara, melakukan usaha atau memangku jabatan bebas atau onbezolidigde ambtenaar. Pesero yang melanggar ketentuan ini, wajib untuk membayar denda yang dapat ditagih secara seketika dan sekaligus sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).
C. PEMBAGIAN PERIKATAN MENURUT KUH PERDATA
Pmbagian perikatan menurut hukum perdata, diantaranya sebagai berikut:
1. Perikatan Bersyarat dan Perikatan Sederhana
2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu
3. Perikatan Boleh Pilih atau Mana Suka
4. Perikatan Tanggung Renteng atau Tanggung Menanggung
5. Perikatan yang Dapat Dibagi dan yang Tidak Dapat Dibagi
6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman
D. ASAS – ASAS DAN KETENTUAN PERJANJIAN
Asas-asas dan ketentuan dari perjanjian dibagi atas beberapa asas diantaranya sebagai berikut:
1. lAsas Konsensualitas (konsensualisme)
Merupakan syarat mutlak bagi hukum perjanjian dan terciptanya suatu kepastian hukum.
Cukup dengan <span>dicapainya </span><span>sepakat</span> mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut maka sudah melahirkan adanya suatu konsensus atau kesepakatan.
Perjanjian sudah sah dan telah mengikat kedua belah pihak yang bersangkutan.
Contoh : perjanjian MoU (antara Indonesia & GAM), Pernikahan.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Penganutan asas kebebasan berkontrak berasal dari dunia Barat dengan sistem liberalisme.
Dasar Hukum pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata. Asas ini memberikan <span>kekuatan hukum dan mengikat</span> pada para pihak yang membuat perjanjian (pacta sunt servanda), sehingga perjanjian ini berlaku terhadap para pihak sebagai Undang-Undang.
Contoh : perjanjian permohonan kartu kredit.
3. Asas Personalitas
Bahwasanya perjanjian yg dibuat itu ditujukan memang untuk mereka (para pihak) yang terlibat. Jika tiba-tiba ada pihak ketiga ikut campur didalamnya, maka perjanjian dapat dikaji ulang (diubah dan dibuat perjanjian baru) kembali.
Contoh : jual beli, yang terlibat pasti si penjual dan si pembeli langsung (tanpa perantara). jika ada perantara dalam arti sebagai pihak ketiga maka akan dijelaskan sebagai si "penerima kuasa menjual/membeli".
4. Asas Pacta Sunt Servanda
Perjanjian yang dibuat antara para pihak berlaku sebagai hukum yang mengikat didalam kedua belah pihak tersebut.